Menumbuhkan Kesadaran Politik Pemilih Pemula untuk Masa Depan Demokrasi
Oleh : Benben Fathurokhman
(Kadiv Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Bandung Barat)
Sebagai Anggota KPU Kabupaten Bandung Barat, saya meyakini bahwa keberhasilan pemilihan umum tidak hanya bergantung pada aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga pada tingkat kesadaran politik masyarakat—khususnya pemilih pemula. Mereka adalah generasi muda yang untuk pertama kalinya menggunakan hak pilihnya, sekaligus calon pemimpin masa depan yang akan menentukan arah perjalanan bangsa dalam jangka panjang.
Pemilihan umum sendiri merupakan “ekspresi nyata dari demokrasi dan sarana bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan.” Dengan demikian, pemilu bukan hanya ritual lima tahunan, tetapi wujud nyata partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin dan kebijakan negara. Tingkat partisipasi politik masyarakat, termasuk pemilih pemula, menjadi indikator penting apakah demokrasi berjalan dengan baik atau tidak.
Sebagai generasi digital, pemilih pemula memiliki karakteristik yang terbuka, kritis, dan akrab dengan perkembangan teknologi. Namun, mereka juga menghadapi tantangan serius berupa rendahnya literasi politik serta derasnya arus informasi yang tidak selalu akurat. Pernah ditegaskan bahwa “pendidikan politik yang buruk membuat kelompok ini rentan terhadap mobilisasi kepentingan khusus.” Hal ini terlihat ketika pilihan politik ditentukan bukan oleh visi dan misi kandidat, melainkan oleh popularitas, kampanye emosional, atau tren media sosial.
Untuk memahami dinamika ini, penting melihat pandangan Milbrath yang menjelaskan empat faktor yang memengaruhi partisipasi politik:
-
insentif politik, termasuk pengaruh media massa;
-
karakteristik sosial, seperti usia, pendidikan, dan status ekonomi;
-
sistem politik, yang memberi ruang partisipasi;
-
perbedaan regional, yang memengaruhi lingkungan demokrasi.
Media massa, misalnya, dapat menjadi pendorong partisipasi, tetapi tanpa kemampuan berpikir kritis, justru dapat memunculkan misinformasi yang menyesatkan pemilih muda. Selain itu, faktor kesibukan juga menjadi hambatan nyata. Bukan tanpa alasan ketika disebut bahwa “kesibukan kegiatan sehari-hari para pemilih pemula yang umumnya pelajar dan pekerja menjadikan mereka enggan melakukan kegiatan politik.” Lingkungan sosial, termasuk dukungan keluarga, turut mempengaruhi tingkat keaktifan generasi ini dalam berpolitik.
Pada hakikatnya, partisipasi politik tidak sebatas datang ke TPS. Partisipasi merupakan kesadaran untuk mengambil bagian dalam menentukan masa depan bangsa. Setiap suara memiliki kekuatan yang sama dan menjadi tanggung jawab moral bagi setiap warga negara, termasuk pemilih pemula. Generasi muda perlu memahami bahwa keputusan politik mereka hari ini akan membentuk wajah Indonesia di masa mendatang.
Saya percaya, dengan sinergi antara KPU, lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, pemilih pemula dapat tumbuh menjadi pemilih yang cerdas, kritis, dan berintegritas. “Pemilih pemula bukan hanya penerus demokrasi, tetapi juga penjaganya.” Ketika kesadaran politik tumbuh sejak dini, demokrasi Indonesia akan semakin matang dan berkeadaban.